Terwujudnya Impianku menjadikan aku bingung (the
next)
Di bawah terik matahari ini
aku berjalan bersama temanku Ani Purwanti, jalan yang sering aku lewati dulu
sebelum akhirnya aku dibelikan motor oleh ayahku. Kebisingan suara motor dan
mobil yang lalu lantas adalah sajian yang menemani iringan langkah-langkah
kecil kami, angin yang berhembuspun seakan tak terasa dikalahkan oleh uap
panasnya jalan ini. Jalan yang selalu membuat sepatuku yang baru dan masih
tebal (di bagian telapaknya) menjadi lusuh dan tipis. Sambil mengisi waktu
luangku menunggu angkot ini berjalan mengantarkan ku pulang. Aku sengaja
iseng-iseng menulis sebuah cerita perjalanan hidupku ini sambil melihat
kendaraan yang was..... wus wira-wiri melewati jalan di sebelah angkot ini.
Aku kembali teringat saat aku
masih kelas X, aku biasa melewati hari-hari ini dengan menggerutu “ah....andai
saja aku punya motor , aku pasti udah sampai rumah dari tadi” dari pada
nganggur buang-buang waktu buat nunggu angkot, mending buat internetan di lab
adem,tenang,nyaman, gratis lagi. Sambil mengingat kejadian-kejadian itu,
sesekali aku melihat kaca yang ada di dalam angkot untuk mendengarkan
percakapan orang-orang yang duduk di belakangku. Karena saat itu aku duduk di
bangku paling depan disamping pak supir.
Padahal aku rasa naik motor itu
gak seenak dan senyaman yang aku bayangin dulu karena resiko terbesar adalah
nyawa . sering aku merasa kebingungan apakah aku tetap ngangkot atau naik
motor. Aku hanya takut kalo make’ motor itu keseringan jatuh dan akhirnya motornya
rusak , belum lagi badanku yang sakit semua.
Aku malu , kalo aku hnya bisa
menyusahkan kedua orang tuaku, membuat mereka khawatir dan gelisah, apalagi
harus mengeluarkan uang lagi buat nyervis motor. Huh.... aku gak mau itu
terjadi.
Dan aku gak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi hal itu, malahan aku
sering menyalahkan diriku sendiri, kenapa sichhh aku gak bisa merawat dengan
baik barang pemberian orang tuaku. Padahal untuk memperoleh motor itu, ibuku
yang berjuang merayu-rayu ayahku agar ia mau membelikanku motor. Dimarahi ayah
adalah resiko yang harus ditanggung ibu. Pagi, siang , malam ibuku nhanya
berdo’a untuk aku dan adikku, walaupun bukan itu doang sich. Hingga akhirnya
sebuah motor impianku sejak SMP dapat terwujud.
Tapi sudahlah, aku hanya perlu
belajar lebih giat lagi agar aku mahir mengendarai motor. Tuntuan itulah yang
sering menghantui pikiranku, belum lagi mengingat kecelakaan kemarin. Tak
terasa angkotpun mulai penuh dan angkot yang aku tumpangi mulai berjalan.
“pak? masjid” kata yang sering aku
ucap ketika aku hendak turun dari angkot. Perlahan kami berjalan menyusuri
panasnya jalanan ini, meraskan uap jalan aspal yang seakan-akan ingin membuat
kaki kami menderita karena kepanasan. Tak ada yang aku fikirkan aku, hanya
sangat merasa bersyukur karena fasilitas baruku itu sangat membuatku nyaman
karena aku gak perlu ngantri berjam-jam di kursi angkot untuk menunggu angkot
penuh, walaupun terkadang kata yang
sering aku ucap ketika aku hendak turun dari angkot. Perlahan kami berjalan
menyusuri panasnya jalanan ini, meraskan uap jalan aspal yang seakan-akan ingin
membuat kaki kami menderita karena kepanasan. Tak ada yang aku fikirkan aku,
hanya sangat merasa bersyukur karena fasilitas baruku itu sangat membuatku
nyaman karena aku gak perlu ngantri berjam-jam di kursi angkot untuk menunggu
angkot penuh, walaupun terkadang udah penuh dan aku gak dapat tempat duduk
sich.
Hampir setengah perjalanan kami
melangkahkan kaki ini, tiba-tiba aku melihat sosok cowok remaja dengan motor
supra fit hijau yang menghampiri kami..... oh ternyata itu adik sepupunya ani
yang ia suruh untuk menjemputnya, karena ia memang merasa kurang enak badan.
Aku berjalan mendahuluinya karena aku tidak ingin, jika adiknya harus
memboncengkan kami berdua. Tapi ada 1 motor jupiter mx yang mendahului
langkahku, ia melihat ke arahku lalu berkata “nggo mbak nek sareng” mungkin
karena ia merasa iba melihatku yang berjalan sendirian, sedangkan temanku ani
udah dijemput adiknya.