Creative Media, Design, Photography and other related things.

Personalie

Selasa, 20 Agustus 2013

Terwujudnya Impianku menjadikan aku bingung (the next)
                   Di bawah terik matahari ini aku berjalan bersama temanku Ani Purwanti, jalan yang sering aku lewati dulu sebelum akhirnya aku dibelikan motor oleh ayahku. Kebisingan suara motor dan mobil yang lalu lantas adalah sajian yang menemani iringan langkah-langkah kecil kami, angin yang berhembuspun seakan tak terasa dikalahkan oleh uap panasnya jalan ini. Jalan yang selalu membuat sepatuku yang baru dan masih tebal (di bagian telapaknya) menjadi lusuh dan tipis. Sambil mengisi waktu luangku menunggu angkot ini berjalan mengantarkan ku pulang. Aku sengaja iseng-iseng menulis sebuah cerita perjalanan hidupku ini sambil melihat kendaraan yang was..... wus wira-wiri melewati jalan di sebelah angkot ini.
                  Aku kembali teringat saat aku masih kelas X, aku biasa melewati hari-hari ini dengan menggerutu “ah....andai saja aku punya motor , aku pasti udah sampai rumah dari tadi” dari pada nganggur buang-buang waktu buat nunggu angkot, mending buat internetan di lab adem,tenang,nyaman, gratis lagi. Sambil mengingat kejadian-kejadian itu, sesekali aku melihat kaca yang ada di dalam angkot untuk mendengarkan percakapan orang-orang yang duduk di belakangku. Karena saat itu aku duduk di bangku paling depan disamping pak supir.
                Padahal aku rasa naik motor itu gak seenak dan senyaman yang aku bayangin dulu karena resiko terbesar adalah nyawa . sering aku merasa kebingungan apakah aku tetap ngangkot atau naik motor. Aku hanya takut kalo make’ motor itu keseringan jatuh dan akhirnya motornya rusak , belum lagi badanku yang sakit semua.
                Aku malu , kalo aku hnya bisa menyusahkan kedua orang tuaku, membuat mereka khawatir dan gelisah, apalagi harus mengeluarkan uang lagi buat nyervis motor. Huh.... aku gak mau itu terjadi.
             Dan aku gak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi hal itu, malahan aku sering menyalahkan diriku sendiri, kenapa sichhh aku gak bisa merawat dengan baik barang pemberian orang tuaku. Padahal untuk memperoleh motor itu, ibuku yang berjuang merayu-rayu ayahku agar ia mau membelikanku motor. Dimarahi ayah adalah resiko yang harus ditanggung ibu. Pagi, siang , malam ibuku nhanya berdo’a untuk aku dan adikku, walaupun bukan itu doang sich. Hingga akhirnya sebuah motor impianku sejak SMP dapat terwujud.
           Tapi sudahlah, aku hanya perlu belajar lebih giat lagi agar aku mahir mengendarai motor. Tuntuan itulah yang sering menghantui pikiranku, belum lagi mengingat kecelakaan kemarin. Tak terasa angkotpun mulai penuh dan angkot yang aku tumpangi mulai berjalan.
           “pak? masjid” kata yang sering aku ucap ketika aku hendak turun dari angkot. Perlahan kami berjalan menyusuri panasnya jalanan ini, meraskan uap jalan aspal yang seakan-akan ingin membuat kaki kami menderita karena kepanasan. Tak ada yang aku fikirkan aku, hanya sangat merasa bersyukur karena fasilitas baruku itu sangat membuatku nyaman karena aku gak perlu ngantri berjam-jam di kursi angkot untuk menunggu angkot penuh, walaupun terkadang  kata yang sering aku ucap ketika aku hendak turun dari angkot. Perlahan kami berjalan menyusuri panasnya jalanan ini, meraskan uap jalan aspal yang seakan-akan ingin membuat kaki kami menderita karena kepanasan. Tak ada yang aku fikirkan aku, hanya sangat merasa bersyukur karena fasilitas baruku itu sangat membuatku nyaman karena aku gak perlu ngantri berjam-jam di kursi angkot untuk menunggu angkot penuh, walaupun terkadang udah penuh dan aku gak dapat tempat duduk sich.

               Hampir setengah perjalanan kami melangkahkan kaki ini, tiba-tiba aku melihat sosok cowok remaja dengan motor supra fit hijau yang menghampiri kami..... oh ternyata itu adik sepupunya ani yang ia suruh untuk menjemputnya, karena ia memang merasa kurang enak badan. Aku berjalan mendahuluinya karena aku tidak ingin, jika adiknya harus memboncengkan kami berdua. Tapi ada 1 motor jupiter mx yang mendahului langkahku, ia melihat ke arahku lalu berkata “nggo mbak nek sareng” mungkin karena ia merasa iba melihatku yang berjalan sendirian, sedangkan temanku ani udah dijemput adiknya.